Solo Travelling: Antara Keberanian dan Kebodohan?
Solo travelling atau bepergian sendirian sering dibayangi oleh dua persepsi ekstrem — ada yang memandangnya sebagai tindakan penuh keberanian, tanda kemandirian dan semangat petualangan, sementara yang lain menilai itu sebagai tindakan sembrono dan berisiko. Pertanyaan besar yang diangkat adalah: apakah bepergian sendirian benar-benar sekeren kelihatannya, atau lebih bodoh daripada berani?
1. Romantisme Kebebasan
Keindahan paling
mendasar dari solo travelling adalah kebebasan mutlak yang
ditawarkannya. Tidak ada kompromi soal ke mana akan pergi, apa yang ingin
dilihat, atau bagaimana menghabiskan waktu. Tidak ada perdebatan seperti
biasanya terjadi dalam kelompok. Rencana perjalanan adalah murni milik satu
orang, yang membuat pengalaman tersebut sangat personal dan otentik.
Kebebasan ini bukan
sekadar soal logistik — lebih dari itu, solo travelling menjadi ujian kemampuan
diri sendiri. Traveler tunggal dihadapkan pada situasi yang menguji
ketahanan mental, keterampilan pemecahan masalah, dan kemauan untuk beradaptasi
pada sesuatu yang baru tanpa dukungan siapapun. Bahkan hal sederhana seperti
memesan makanan dalam bahasa asing atau menguasai transportasi lokal bisa
menjadi momen kemenangan duniawi yang memberikan rasa percaya diri yang luar
biasa.
2.
Kedalaman Pengalaman Lokal
Saat orang berjalan
sebagai bagian dari kelompok, sering kali pengalaman mereka terhadap tempat
baru ‘terfilter’ oleh percakapan dan dinamika kelompok. Namun, dalam solo
travelling, perjalanan menjadi pengalaman yang lebih intens dan langsung.
Tanpa obrolan yang menutupi pengalaman, dunia di sekitar traveler masuk secara
penuh ke indra mereka — suara jalanan, bau masakan lokal, ritme pasar, hingga
dialog tidak sengaja dengan orang di sekitar.
Penulis artikel
menggunakan pengalaman pribadi saat berkeliling Zaragoza sebagai contoh:
suasana kota, hujan yang datang tiba-tiba, jalanan yang berkilau, serta momen
makan siang sendirian menjadi pengalaman penuh kesadaran diri. Pada awalnya,
rasa canggung duduk sendirian bisa terasa cukup kuat, namun begitu seseorang
melepaskan perasaan itu, ia bisa menikmati kedamaian yang ditawarkan oleh keberadaan
semacam itu.
3.
Tantangan dan Risiko
Namun, semua kebebasan
tersebut bukan tanpa harga. Tidak ada teman yang membantu mengambil keputusan,
sehingga segala tanggung jawab berada pada diri sendiri —
mulai dari navigasi hingga mengatur anggaran. Ada pula risiko nyata yang perlu
diakui, terutama ketika berada di tempat yang asing atau di lingkungan dengan
tingkat keamanan yang berbeda dengan tempat asal.
Bagi perempuan, risiko
ini sering terasa lebih nyata. Di beberapa wilayah, wisatawan wanita yang
bepergian sendirian mungkin lebih rentan terhadap pelecehan, pencopetan, atau
gangguan. Karena itu, diperlukan kewaspadaan ekstra seperti memilih rute yang
terang benderang, memahami norma budaya lokal, serta menyiapkan langkah
pencegahan yang matang.
Selain aspek keamanan,
rasa kesepian juga merupakan bagian yang tidak bisa diabaikan
dari solo travelling. Bahkan traveler yang paling mandiri sekalipun bisa merasa
rindu akan kebersamaan, terutama setelah hari yang panjang. Momen saat makan
malam sendirian atau kembali ke kamar hotel yang sunyi — semuanya bisa membuat
orang merasa jauh dari rumah dan teman tercinta.
4.
Menemukan Keseimbangan: Siap vs Berani
Jadi, apakah solo
travel itu lebih berani atau lebih bodoh? Menurut artikel ini, jawabannya bukan
salah satu dari dua hal tersebut secara mutlak — melainkan keduanya
sekaligus namun dalam proporsi yang seimbang.
Solo travelling bisa
disebut berani ketika seseorang benar-benar siap mental untuk melangkah ke yang
tidak diketahui, menghadapi keraguan dan ketidakpastian dengan tekad sendiri.
Namun, itu bisa jadi bodoh jika dilakukan tanpa persiapan — baik dari segi
riset perjalanan, pemahaman budaya setempat, ataupun langkah-langkah keamanan.
Alat-alat modern
seperti aplikasi pemetaan, forum traveler, panduan lokal, dan layanan berbagi
rencana perjalanan dapat membantu menjembatani celah antara tidak tahu apa
yang akan terjadi dan siap menghadapi kemungkinan yang ada.
Dengan persiapan yang matang, pengalaman yang tampak berisiko bisa berubah
menjadi petualangan yang kaya makna.
5.
Kekuatan Interaksi dan Kebaikan Orang Lain
Ironisnya, ada paradoks
di solo travelling — kadang saat kita sendirian, justru ada peluang lebih besar
untuk bertemu orang baru. Tidak ada “gelembung sosial” dari teman yang akrab,
sehingga pertemuan dengan penduduk lokal atau sesama pelancong menjadi lebih
mungkin terjadi dan lebih bermakna.
Dalam perjalanan,
sarana seperti hostel, transportasi umum, atau kafe bisa menjadi tempat
bertukar cerita dan menjalin hubungan singkat namun berkesan dengan orang asing
yang mungkin sebelumnya tidak akan kita temui dalam perjalanan berkelompok.
6.
Menyimpulkan Solo Travelling
Pada akhirnya, solo
travelling bukan sekadar tentang keberanian atau kebodohan, tetapi tentang cara
kita mendefinisikan kedua istilah tersebut dalam konteks pengalaman nyata.
Berani bukan berarti tidak merasa takut; berani adalah
bergerak maju meskipun ada rasa takut. Sedangkan “bodoh” dalam konteks
perjalanan berarti bertindak tanpa persiapan atau tanpa rasa hormat terhadap
tantangan yang ada.
Solo
travelling mengajarkan bahwa sendirian bukan sama dengan kesepian,
dan mandiri bukan berarti tersisih dari dunia. Saat seseorang
merencanakan dengan bijak, bersikap waspada tanpa paranoia, dan membuka diri
terhadap pengalaman baru, perjalanan tunggal bisa menjadi salah satu cara
paling dalam untuk memahami dunia dan diri sendiri.
Sumber
:
https://theboar.org/2025/04/solo-travelling-brave-or-foolish/












Komentar