Sebenarnya bagi saya Puncak Pato bukanlah objek wisata yang asing. Dulu ketika masih berstatus guru SMA beberapa kali saya mendampingi anak SMA mendaki gunung Sago. Setiap kali itu pulalah kami melewati bukit yang terletak di kaki gunung itu. Tapi itu puluhan tahun yang lalu. Nah sekarang bagaimana keadaan bukit yang ditumbuhi pohon-pohon pinus itu.
Pertanyaan ini sering mengusik pikiran saya. Maka ketika selesai keliling Jawa sebagai solo Backpacker saya berniat berkunjung ke Sumatra Barat dan menyempatkan singgah di Puncak Pato. Namun yang terjadi kemudian Covid 19 datang kita harus dirumah tidak boleh kemana-mana. Tiga bulan lebih kita mengeram di rumah.
Dan ketika teman-teman mengatakan bahwa ke Sumbar tidak lagi dilarang, maka bertiga dengan teman dekat rumah berangkatlah kami pada malam hari ke Sarilamak Payahkumbuh di sana kami menginap menjelang pagi. Paginya sekitar pukul sepuluh kami menikmati keindahan pemandangan persawahan di desa Taram. Bukit-bukitnya yang menjulang tidak begitu tinggi Nampak saat indah disela-sela bentangan persawahan yang menguning.
Kemudian kami menuju Padang Mangateh tempat peternakan sapi yang katanya keindahannya mirip dengan padang pengembalaan di New Zeland sana. Namun sayang petugas yang ada di sana mengatakan bahwa Padang Mangateh adalah tempat peternakan sapi bukan objek wisata. Jadi siapapun dilarang masuk. Kesal juga rasanya, namun gimana lagi petugasnya cukup ramah namun mereka katanya hanya menjalankan tugas.
Kemudian mulailah kami menuju Lintau untuk ke Puncak Pato. Di beberapa tempat jalan sangat jelek berlubang-lubang sehingga mobil tidakbisa dikebut. Tapi dari Lintau ke Puncak Patonya jalan cukup mulus meskipun tidak terlalu lebar.
Puncak Pato terletak Kecamatan Lintau Buo Utara di Nagari Batu Bulek, Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumater Barat ini banyak pohon pinus yang menjadikan wisata ini terasa adem dengan pemandangan yang indah. Menurut penjaga parkir yang ada di situ Puncak Pato ini sangat di gemari oleh masyarakat setempat dan selalu ramai di kunjungi pada akhir pekan maupun hari biasa, baik anak-anak, remaja, orang tua karena memang unik dan sangat menarik di kunjungi. Dan bagi pasangan muda-mudi sangat banyak mengunjungi tempat ini, karena tempat ini begitu romantis jika anda membawa pasangan.
Sudah sangat lama sudah puluhan tahun yang lalu saya kemari dan bukit yang berada di kaki gunung sago itu sudah sangat jauh berubah. Sekarang ada jalan semenisasi sampai ke Puncak. Sambil mendaki ke atas kita bisa melihat kebun sayur mayor dan kebun jagung penduduk terbentang menghijau cukup luas. Nun jauh di sana dibalut oleh kabut samar-samar terlihat gunung Sago. Gunung yang paling sering saya daki di Sumatra Barat.
Setelah sampai ke puncak bangunan saderhana dengan ciri khas atapnya rumah gonjong terlihat kurang terurus. Tak jauh dari situ berdiri dengan kokoh monument tungku tigo sajarangan. Ini adalah tugu perdamaian antara kaum Padri dan Kaum adat ketika terjadi perang Imam Bonjol. Kalau dalam sejarah kit abaca perdamaian itu diadakan di bukit Marapalam. Jadi dulunya puncak Pato ini disebut Bukit Marapalam.
Dari Puncak bukit ini kita bisa memandang bebas . Di antaranya kita akan melihat pemandangan pemukiman penduduk Kecamatan Sungayang dengan rumah penduduk yang bertebar bagai tanaman jamur yang tidak teratur ; hamparan sawah yang indah yang hijau tampak sangat menawan turun naik sesuai konstur tanah yang tidak datar.
Bagi yang ingin selfie disediakan juga rumah-rumah pohon yang dari sana latar belakang foto akan Nampak indah. Memang puncak Pato ini adalah tempat tamasya yang romantic bagi kaum remaja karena banyak sekali bagian bukit ini yang sangat ideal untuk mojok berdua-duaan. Numun papan-papan peringatan banyak di pasang “ Jauhi Perzinaan”
Pohon-pohon pinus yang berdiri kokoh sangat tinggi membuat suasana bukit ini sejuk dan nyaman, sehingga membuat kita betah berlama-lama menikmati kesejukan udaranya ditambah lagi angin semilir yang bertiup perlahan menimbulkan sensasi yang indah. Namun seperti kata dari lagu naik-naik ke puncak gunung, “Meski canta tetap cinta mama panggil pulange” kita harus pergi, perjalanan harus dilanjutkan selamat tinggal Puncak Pato.
Komentar