BACKPACKER TRAVELING TO KUALA KAMPAR (PART 4)





Kembali kapal yang membawa saya melaju membelah lautan menuju ke Tanjung Samak. Saya membuka bungkus nasi yang saya beli. Nasi putih dan sepotong kecil ikan tongkol. Kuahnya dibungkus dalam plastik kecil. Saya tumpahkan sedikit kuah pada nasi. Ternyata hambar tidak terasa garamnya. Tapi nasinya lumayan, bukan dari beras kualitas murahan. Pada sepotong ikan yang ada, menempel sedikit cabe. Lumayanlah. Dalam sekejap selesai makan siang saya yang tertunda.

Kapal terus melaju menerjang ombak, tak lama kemudian sampai di Tanjung Samak, pulau Ransang. Tanjung Samak ini merupakan daerah yang pertama saya kunjungi pada tahun 1996 ketika pertama kali saya ditunjuk sebagai instruktur propinsi program PKG. Waktu itu Tanjung Samak ini termasuk kabupaten Bengkalis, karena belum ada pemekaran.

Selepas Tanjung Samak, kapal mulai menempuh laut lepas. Kapal melaju sambil menerjang ombak dan kadangkala menimbulkan ketidak nyamanan pada penumpang dikala benturan ombak dengan badan kapal menimbulkan benturan seolah-olah kapal menabrak kayu balak. Demikian terjadi berulang-ulang dan seperti teratur dalam tempo dan irama tertentu “ bru … bru … braaaak. Begitulah iramanya. Kalau kapal besar gelombang laut ini malah membuat peumpang terkantuk kantuk karena rasanya kita berada dalam ayunan.
Sejenak pemandangan yang ada adalah laut lepas dengan ombaknya yang cukup menggila. Sekali-kali lewat kapal lain.

Sekitar pukul 16 WIB sudah Nampak dermaga, Selat Beliah pulau Kundur. Dermaga itu sunyi tidak banyak orang berlalu lalang seperti layaknya sebuah pelabuhan. Menyandang ransel, saya naik ke darat. Pada gerbang tempat penumpang naik ke darat tertulis, Selamat datang di Pelabuhan Tg. Maqom”.

Di luar pelabuhan sebuah oplet sudah parkir dengan oplet itulah nampaknya satu-satunya transportasi ke kota Ujung Batu. Perjalanan ke ibu kota kecamatan kundur itu lebih dari 45 menit. Melewati perkebunan masyarakat. Ada kebun durian, rambutan dan buah naga. Tapi yang paling banyak adalah kebun karet. Ini mengingatkan kan pada cerita-cerita kawan, bahwa kalau suatu daerah banyak kebun karet berarti di sana banyak orang keturunan Kampar. Apakah benar atau tidak tahu pasti. Jalan yang dilewati sudah di aspal. Mendekati kota kami melewati sekolah Tinggi Kepolisian. Seperti yang ada di Pekanbaru
Di dalam oplet itu ada 5 orang yang akan ke Penyalai kuala Kampar. Jadi dia minta turun di pelabuhan Tanjung Batu. Saya pun mengikut juga,kalau perlu nanti lansung pula nyebrang ke Penyalai. Walau pun sebenarnya saya berharap untuk bermalam dulu di Tanjung Batu. Kawan-kawan mengatakan bahwa kehidupan malam di Tanjung Batu ini cukup mengasikkan.
Hampir pukul 17.00 wib, oplet berhenti di depan pelabuhan Tanjung Batu. Penumpang yang berlima, salah seoragn adalah polisi yang masih muda, bergegas ke Pelabuhan dan saya juga mengikuti dari belakang. Sayang, petugas yang berpakaian dinas baju dongker mengatakan bahwa kapal  terakhir ke Pulau Penyalai Kuala Kampar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melihat Keajaiban Alam Kabupaten Lingga Kepulauan Riau: Menjelajahi Pesona Pulau-pulau Indah dan Pantai yang Menakjubkan

Merasakan Kekecewaan Tuanku Imam Bonjol di Bukit Tajadi Benteng Terakhir Pasukan Padri