Berkunjung ke Sebuah Desa Nelayan di Tarempa Anambas Kepulauan Riau

 


Dalam suatu kesempatan Mengunjungi Tarempa, ibu kota kabupaten Kepulauaan Anambas, Kepri, di samping mengunjungi objek-objek wisata yang popular, saya juga mengunjungi sebuah desa Nelayan. Desa itu terletak dipinggir jalan lingkar yang mengubungkan Kota Tarempa dengan air terjun Temburun.

Ingin mencoba mesin pencari yang baru yang lebih baik dari google? Klick dibawah ini

 https://www.entireweb.com/?a=090457


Desa itu berhadapan lansung dengan laut lepas. Dan rumah penduduk rata-rata rumah bertiang berada diatas laut. Ketika penduduk yang ramah-ramah menanya keperluan kami, kami menjawab untuk melihat ikan teri yang terkenal di daerah itu.

Di samping penduduk asli ada juga beberapa pendatang yang telah berbaur dengan masyarakat. Salah seorang yang kami temui ada seorang yang leluhur dari Maninjau Sumatra Barat, namun bahasa Melayunya sangat kental sekali sehingga sama sekali tidak menyangka ia berasal dari Sumbar.



Dengan penduduk, sambil duduk dipelantar rumah yang menghadap kelaut lepas kami berbincang-bincang tentang apa saja. Terutaman tentang penghidupan di desa itu. Dari perbincangan dengan mereka, saya teringat ucapan Gandhi dari India” Alam telah menyediakan makanan yang cukup bagi penduduknya”

Dan memang penduduk desa nelayan ini kehidupan mereka bergantung pada alam, yaitu alam laut. Waktu itu bulan September musim menangkap ikan teri. Ikan itu datang bergerombol dalam jumlah besar. Penduduk tinggal menangkapnya. Maka pemandangan disana terhampar ikan teri basah yang sedang dijemur. Mereka tidak perlu pergi kepasar untuk menjualnya. Pedagang dari Batam dan Tanjung Pinang datang membelinya.

Nanti ada lagi saatnya musim udang. Udang datang sangat banyak bergelantungan di tiang tiang rumah penduduk tinggal menangkapnya saja. Adalagi masa musim ikan yang datang menghampiri mereka, mereka menangkap ikan dari laut.  Ketika saya tanya bulan-bulan apa saja musim ikan teri, musim udang dll, mereka tidak menyebut bulan, tapi menyebut angin. Jadi rezeki mereka itu tergantung musim angin, yaitu angin utara, angin selatan, barat dan timur. Setiap angin membawa musim tangkapan yang berbeda.



Jadi seluruh penduduk memang bergantung pada alam. Alam sudah menyediakan mereka tinggal mengambilnya saja. Bagi orang-orang tua yang sudah tidak bisa mengambil ikan dilaut mereka hanya kerja sambil duduk-duduk saja, yaitu membelah-belah ikan teri mengeluarkan taiknya. Mereka diupah lima ribu rupiah perkilo. Dan rata-rata mereka hanya mengerjakan lima kilo sehari.

Bagi mereka yang tidak suka melaut, dataran yang berbukit-bukit sudah mneyediakan juga makanan untuk mereka. Yaitu batu-batu raksasa yang bertebaran dimana-mana. Mereka memecahkan batu ini dan nanti menjualnya Rp 150 ribu perkubik. Dan kalau memecahkan batunya ditanah orang mereka membayar 15 ribu perkubik kepada yang punya tanah. Dan rata-rata sehari mereka bisa memecahkan batu 2 meter kubik.



Jadi di desa nelayan ini tidak ada penduduk yang kelaparan karena alam sudah menyediakan untuk mereka. Ikan bergantung musim angin, tinggal menangkap saja, batu tinggal memecahkan saja tidak akan pernah habisnya. Itulah yang mereka geluti sepanjang tahun. Jadi alam sudah meyediakan semuanya untuk mereka, sepert kat Gandhi. Tapi Gandhi menambahkan “Makanan yang cukup untuk untuk seluruh penduduk itu tidak cukup untuk satu orang yang TAMAK'



Mudah-mudahan disana tidak ada orang yang tamak sehingga penduduk bisa hidup tentram secara alamiah menikmati kurnia alam yang melimpah sepanjang tahun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pada Suatu Sore di Taman Kota Tugu Pejuang Pintu Rimbo Lubuk Sikaping Pasaman Sumatra Barat

Melihat Keajaiban Alam Kabupaten Lingga Kepulauan Riau: Menjelajahi Pesona Pulau-pulau Indah dan Pantai yang Menakjubkan

Traveling Seru dengan Road Trip