Pekanbaru – Yogyakarta (Part IV)
Berbincang-bincang dengan teman yang sudah meninggal
Sekitar pukul 5 sore kami sudah memasuki
daerah Palembang. Persis waktunya seperti kita naik bus, dari Pekanbaru
–Palembang 24 Jam. Jalan kembali padat sehingga mobil berjalan merayap. Teman
saya Nasib tahu rute yang ditempuh ia lansung mengarahkan mobil ke jalan tol.
Agak jauh juga, dan kami tidak masuk kota Palembang.
Keluar jalan tol
kami mencari rumah makan untuk santap malam. Pada sebuah rumah makan Padang
kami berhenti. Rupanya persedian makanannya di rumah makan Padang ini hampir
habis yang tersisa hanya pindang saja. Ya makanlah kami dengan pindang ini, wow
sedap sekali rasanya.
Selesai makan kami
kembali dalam mobil dan melaju ke Kayu Agung untuk masuk tol berikutnya. Tol
ini nantinya sampai Bakauni. Meskipun
hari malam tapi jalanan tetap ramai sehingga kadang kala mobil juga merlambat.
Tak berapa lama
kami sudah melaju di jalan tol. Karena hari malam kami tidak bisa memastikan
apakah pemandangannya indah atau tidak. Beberapakali kami singgah di rest area.
Sayang di rest area tidak menyediakan jasa untuk pijat. Kalau kita dari
Pekanbaru ke Sumbar itukan ada di Lubuk Bangku di rumah makan Terang Bulan.
Waktu saya ambil S2 di UNP Padang, setiap pulang ke Pekanabaru saya selalu
singgah di sana. Kalau ada kotak sasaran saya akan menyarankan jasa pijat ini
untuk rest area tol ini.
Menjelang pukul 3
subuh kami sudah antri untuk masuk kapal penyebrang di Bakauni menuju Merak.Mobil-mobil
yang akan menyebrang cukup banyak. Terdiri dari mobil pribadi, bus dan truk.
Semua berdesak desakan ingin cepat masuk kapal.
Kapal yang kami
tumpangi sangat besar. Bertingkat-tingkat. Ruangan khusu untuk mobil saja dua tingat. Truk dan dan bus
penumpang dibawah sekali. Sedangkan untuk penumpang ada tingkat 3 dan 4. Ada ruangan
besar untuk penumpang yang di dalamnya ada bangku-bangku seperti biokop. Tapi
banyak penumpang menyewa tikar duduk di pelataran kiri dan kanan sepanjang sisi
kapa kapal yang lansung berhadapan dengan laut.
Memang menyenangkan duduk dipinggiran kapal itu sambil bercengkerama dan bergurau sesame kerabat dan teman. Namun saya memilih untuk berkeliling dahulu. Saya mencari ruangan di kapal untuk shalat. Di jalan tadi saya belum shalat magrib dan isya. Jadi saya jamak dulu shalat fardhu itu. Sudah itu saya lanjutkan berkeliling melihat seisi kapal. Kawan saya Nasib sampai diatas kapal lansung mencari tempat tidur unuk ngorok.
Di kapal
penyebrangan itu juga disediakan kamar-kamar yang disewakan untuk tidur.
Lumayan juga sih untuk membayar kekurangan tidur selama di jalan. Lama
penyebrangan biasanya dua jam. Tapi kalau orang seperti saya mana bisa tidur
dalam perjalanan.
Sedang berkeliling
melihat kodisi dalam kapal seorang lelaki setengah baya menghapiri saya. Dan
menawarkan jasa memijat. Ini yang saya harapkan. Saya lansung setuju. Ia
membawa saya ke bagian atas dari kapala, tepat di atap kapal. Rupanya disana
banyak juga penumpang menikamati keindahan laut Selat Sunda di waktu malam.
Di lantai besi atap
kapal itu juru pijat yang mengaku lelaki asal Sunda itu membentangkan tikar
plastic dan saya menelungkup. Woi pijatan terasa banget sehingga saya
melayang-layang antara bangun dan tidur.
Selama saya dipijat
ada rasanya teman tetangga saya yang menemani saya berbincang-bincang. Selesai
dipijat saya berdiri dan mengenakan celana panjang dan jaket saya yang tadi
saya buka sebelum dipijat. Sambil mengenakan pakaian saya ajak teman yang
mendapingi saya untuk makan pop mie. Saya bilang, “Yok kita makan pop mie. Di
kapal ini pop mie sangat lezat. Kuahnya yang kita hirup itu nantinya akan
terasa hangatnya meresap keseluruh pori pori tubuh.”
Kemudian kami
berjalan beriiringan. Dia di belakang saya sambil terus berbincang bincang
masalah kecil kecil. Kami menuruni dua lantas sebelum sampai pada konter yang
menjual Pop mie. Saya segera akan memesan dua pop mie. Ketika tiba-tiba saya
teringat sesuatu.
Bukankah kawan
tetangga saya yang bersama dengan saya itu SUDAH
MENINGGAL beberapa bulan yang lalu? Saya segera melihat kebelakang. Rupanya
ia tidak ada. Bermimpi? Rasanya tidak. Masa bermimpi sambil berjalan menuruni
dua tingkat dari ruangan kapal. Akhirnya saya hanya pesan satu pop mie. Saya
menyantapnya sendiri sambil termangu-mangu memikirkan kawan tadi. Real betul
rasanya bukan ilusi nasi. (Bersambung)
Komentar