KILOMETER NOL KILO METER NOL, KILO METER NOL, KILO METER NOL
Tujuan utama
saya datang ke Aceh, khususnya Sabang, karena saya merasa sebagai pecinta
traveling tidaklah sempurna kalau tidak mengunjungi ujung ke ujung Negeri
tercinta kita Indonesia ini. Maka kota Sabang adalah paling ujung di barat, dan
ini ditandai dengan tugu nol kilometernya. Nah kesana lah saya akan pergi untuk
mengawali tamasya saya di Sabang.
Jangan
dibayangkan Sabang dengan kota-kota lainnya di Indonesia, dimana banyak alat
transportasi seperti Bus kota, oplet, taksi maupun yang modern seperti sekarang
ini go jek dan go car. Semuanya itu tidak ada di Kota paling barat Indonesia
ini. Superband memang ada di pelabuahan, namun itu hanya terbatas membawa kita
ke pusat kota. Makanya serba carteran. Carteran yang paling murah tentu ojek.
Nah kalau backpacker sejati seperti bule-bule yang rata-rata orang dari benua
kulit putih mereka berjalan kaki sambil nebeng dengan kenderaan apa saja yang
mungkin. Kalau saya tidak begitu kuat jalan kaki, apalagi jalan menanjak. Dan
lagi ada rasa malu, nyetop-nyetop truk, pickup atau mobil-mobil pribadi yang
kita belum kenal. Syukur kalau dikasi
tumpangan jangan-jangan malah nanti dicuriga.
Kalau bule orang tidak curiga lagi karena mereka memang turis sejati. Kalau
kita malah dicurigai tidak berniat baik seperti perampok karena tidak biasa
local turis yang berprilaku orang bule.
Supaya
efektif perjalanan saya di Sabang ini maka saya pilih motor carteran. Kalau
kita sendiri yang menggunakan sewanya Rp 100.000,- sehari dan Rp 150.000,-
kalau dengan driver nya. Karena ini daerah baru bagi saya dan dari pada saya
nanti kesasar saya pilih lansung dengan drivernya.
Driver
ini juga merangkap sebagai guide. Ia menawarkan tempat-tempat yang menarik di
Sabang. Namun saya bilang nol kilo meter dulu. “Tapi ada yang bagus Pak,”
lansung saya potong,”Nol kilo meter dulu”. “Tempat ini… “ dia menawarkan yang
lain lagi, saya potong lagi, “ nol kilo meter,” setiap dia mencoba menawarkan
sesuatu tempat lansung saya potong, “Nol kilo meter”. Heran juga saya sudah
carter dia seharian, tak perlu lagi dia menawarkan tempat-tempat untuk dituju.
Jarak
antara pelabuahan Balohan, tepatnya losmen Chitra tempat saya menginap ke tugu
nol kilometer cukup jauh 29 km. Jalannya cukup bagus dan semuanya sudah
diaspal. Namun, kita harus melewati tikungan dan tanjakan yang cukup menantang.
Di beberapa tempat belokan dan tanjakannya mirip jalan lintas Padang Sitinjau
lauik. Dan ada lagi yang mengerikan mirip pendakian kelok ampek-ampek di
Sumatra Barat. Kita juga melewati
kawasan hutan dan beberapa pemukiman penduduk. Menjelang sampai ke tujuan, tugu
nol kilometer dijumpai beberapa café punya orang bule, ada Perancis dan ada
juga Italia
Hampir
pukul 12 Siang akhirnya saya sampai juga ke tugu yang sudah lama saya impikan
tugu kilometer nol. Terimakasih , Tuhan yang telah mengabulkan keinginan saya.
Semoga juga Tuhan mengabulkan keinginan saya pada suatu saat mengunjungi kota
Indonesia paling Timur MERAUKE.
Catatan:Beberapa gambar diambil dari google
Catatan:Beberapa gambar diambil dari google
Komentar