JUMPA “KOPUOK” DI MUSEUM ACEH
“Kopuok” adalah tempat penyimpanan padi yang terbuat dari anyaman bilah
bamboo berbentuk bulat seperti drum
besar. Fungsinya sama dengan rangkiang, tempat menyimpan padi, hanya saja
rangkiang berbentuk pondok-pondok kecil yang dibangun di pekarangan rumah.
Sedangkan kopuok ini diletakkan dalam rumah atau dibawah rumah kalau rumah itu
merupakan rumah panggung.
Suka traveling tapi uang terbatas. Ini solusinya, dapatkan Income Rp.800 Juta,- Dari Bisnis Iklan
Silahkan klik : https://muslimpromo.com/?ref=8076
Silahkan klik : https://muslimpromo.com/?ref=8076
Saya tidak tahu apa “Kopuok” bahasa Indonesianya. Namun ini
kosakata orang Airtiris Kampar dan saya melihatnya hanya pada zaman dahulu di Airtiris. Sedangkan di Pekanbaru
maupun di Bangkinang saya tidak pernah melihat Kopuok.
Nah, sekarang di Banda Aceh ini jauh dari kampung halaman saya
Airtiris di Provinsi paling ujung Indonesia saya melihat benda itu lagi di
bawah rumah panggung yang merupakan museum daerah Aceh.
Museum Aceh terdiri dari tiga bangunan. Yang pertama rumah
panggung besar bewarna coklat tua yang merupakan rumah adat Aceh. Rumah ini berisi benda-benda bersifat budaya seperti
baju adat, alat-alat pertanian dan prikanan. Dari benda-benda yang merupakan
kelengkapan pemenuhan kebutuhan
sehari-hari ini tidak jauh berbeda
dengan masyarakat Kampar
Bangunan kedua adalah bangunan adalah bangunan dua lantai dan arsitektur atapnya agak unik. Di
sana ada kantin dan ruang administrasi. Sedangkan bangunan ke-tiga ini
disinilah sebetul museum itu yang berisi berbagai hal. Dan di tempat ini sangat
banyak hal-hal yang menarik. Sejarah Aceh bisa kita lihat disini. Mulai dari
asal muasal Kerajaan Aceh. Kita diarahkan seperti mengikuti lorong dan
sepanjang yang kita lalui kita akan melihat gambar-gambar, miniature dan
diorama yang menceritakan kepada kita hal-hal yang dialami rakyat Aceh dari
masa ke-masa. Kita mengetahui apa yang terjadi ketika Belanda mulai pertama
kali datang ke Aceh; siapa gubernur jenderalnya yang pertama sampai yang
terakhir.
Dan kita bisa juga melihat betapa heroik dan kerasnya
perjuangan rakyat Aceh dari awal sampai akhir tidak mengikhlaskan sejengkal
tanahpun dikuasai oleh orang Asing. Dari sini kita bisa menyimpulkan perjuangan
rakyat Aceh tidak pernah berhenti mengusir penjajah dan lengkap dengan
nama-nama pejuangnya sepanjang masa. Kalau daerah lain kita mengetahui setelah
pemimpinnya tertangkap atau tewas maka perjuangan relative berhenti.
Selanjutnya kita bisa juga menyimak perjalanan hidup rakyat Aceh setelah
proklamasi kemerdekaan sampai terjadinya bencana alam tsunami.
Bagi pecinta sejarah, kalau sampai ke Banda Aceh, akan rugi
sekali kalau tidak menyempatkan diri untuk singgah di museum ini. Banyak
hal-hal yang tidaak ada di buku sejarah yang kita jumpai disini. Untuk masuk ke
Museum ini kita hanya dipungut tiga ribu rupiah. Dekat gardu penjual karcis
tergantung sebuah lonceng, lonceng Cakra Donya yang katanya pemberian Laksaman
Cheng Ho pada abat ke-15.
Museum ini sangat gampang ditemui karena berada ditengah kota
dan berdekatan dengan objek-objek wisata lain seperti, museum tsunami, PLTD
apung, dsb.
Komentar