BACKPACKER TRAVELING TO KUALA KAMPAR (Last Episode)
Semula, siang itu saya ingin
tidur-tiduran sampai pukul 4 sore di penginapan, kemudian saya akan jalan-jalan
melihat-lihat lebih dekat lagi kota(desa) Teluk
Dalam kecamatan Kuala Kampar Pulau Penyalai ini. Namun penginapan saya
sebuah rumah semen dengan beberapa kamarnya terasa panas sekali untuk bisa tidur-tiduran. Pemilik penginapan bilang
listrik baru ada sekitar pukul 5 sore sampai pukul 7 pagi . Dengan demikian AC
yang ada di kamar tidak mungkin hidup
Saya keluar penginapan untuk coba melihat-lihat apa
yang pantas untuk dilakukan. Matahari bersinar dengan terik sehingga saya
terpaksa mengedipkan mata. Matahari berlimpah, sayang kita tidak bisa
memanfaatkannya untuk menjadi sumber listrik. Keluaran perguruan tinggi kita
pintar-pintar namun banyak sumber daya alam kita yang melimpah-limpah tidak
bisa dimanfaatkan. Kalau lah bisa matahari ini dimanfaatkan tentu daerah
terpencil seperti Teluk Dalam ini bisa menikmati listrik. Semoga suatu saat ada
orang Indonesia bisa menciptakan kotak panel yangbisa dibeli secara pribadi
oleh setiap rumah untuk menangkap matahari dan mengolahnya menjadi sumber
listrik.
Saya menuju kearah pelabuhan yang tidak berapa meter
dari penginapan. Di belakang pondok tempat menjual tiket kapal ada bangunan
seperti bedeng menghadap ke laut. Di sana banyak orang berjualan. Semacam pusat
jajanan. |Kesanalah saya menuju. Di suatu sudut ada beberapa orang sedang
berbincang-bincang dengan asik. Diantara mereka ada yang yang saya kenal, karena
sama-sama naik oplet dari Selat Baliah ke Tanjung Batu Kemaren. Saya bergabung
dengan mereka. Tak lama kemudian seorang pengawas sekolah SD yang mendapat
informasi tentang kedatangan saya datang
pula bergabung. Jadilah kami kongkow-kongkow sambil minum kopi dengan ditemani
gorengan sambil menikmati hembusan angin laut yang semilir. Sementara itu kapal
Nampak datang dan pergi silih berganti di dermaga.
Kami memperbincangkan banyak hal. Mulai dari asal
kata Penyalai, tentang penduduk, masalah-masalah yang terjadi di kecamatan
terujung provinsi Riau itu.
Kata penyalai berasal dari kata salai, hal yang
biasa dilakukan terhadap ikan yaitu dijemur sampai kering sambil di asapi.
Namun Penyalai disini, karena kata sahibul hikayat dulu pulau penyalai ini
dihuni oleh para perompak. Dan perompak di pulau ini punya cara specific
membunuh korbannya, yaitu di salai seperti ikan sampai mati. Namun ketika saya
bertanya, apakah manusia yang disalai itu juga dimakan seperti ikan, tidak ada
yang tahu.
.Pulau Penyalai atau lebih dikenal
dengan Kuala Kampar diisi oleh berbagai suku adat serta budaya, suku melayu
merupakan mayoritas penduduk penyalai selain itu diikuti oleh suku jawa, bugis,
minang, serta tionghoa. Yang lebih menariknya ada suatu suku pedalaman yang
dikenal dengan suku asli dengan budaya unik. Dari segi ekonomi masyarakat
penyalai lebih banyak menghasilkan hasil pertanian seperti padi. Oleh-oleh
kebanggaan orang penyalai untuk orang pendatang adalah gula merah, yang tidak
dibuat dari tebu tapi tapi dari tetesan daun nira. Dan pengawas sekolah yang
berbincang-bincang dengan kami sudah menyiapkan untuk saya oleh-oleh kebanggan
itu yang dikemas dalam kardus supermi.
Dalam
upaya pengentasan kemiskinan dan memacu laju pembangunan untuk mengejar ketertinggalan
di Pulau Penyalai, Pemerintah Kabupaten Pelalawan menaruh perhatian besar pada
delapan (8) desa yang digolongkan sebagai desa tertinggal yakni Desa Teluk,
Tanjung Sum, Sungai Solok, Sungai Upih, Teluk Beringin, Serapung, Sokoi dan
Sungai Mas. Pada intinya mereka menghadapi masalah yang serupa, yakni
keterbatasan infrastruktur dan tingginya cost produksi, sehingga usaha macam
apapun sepertinya jadi tak berarti karena produk dan hasil bumi mereka menjadi
tak punya daya saing. Selanjutnya adalah kelangkaan listrik, air bersih.
Cukup
lama kami berbincang-bincang, tak terasa hari sudah mendkati pukul 17 wib. Saya
pulang kepenginapan, mandi airnya sangat tidak layak sehingga saya hanya
membersihkan badan saja. Tidak berkumur-kumur dan menyiram kepala. Kemudian
saya bersiap-siap ke Mesjid yang terbesar di pulau Penyalai. Mesjid Al-Amilin.
Hampir
pukul 19.00 saya melewati pertokoan yang gelap gulita. Seorang penjaga toko mengatakan,
beginilah kondisi pulau Penyalai, sudahlah listriknya hidup pukul 5 sore ada
pula pemadamannya. Ini sudah hampir pukul 7 malam listrik belum juga hidup. Di
penginapan disediakan lilin untuk penerangan. Lewat pukul 8 malam lampu baru
hidup, saya duduk-duduk di bangku teras penginapan. Tak lama kemudian datang
beberapa guru SD dan Guru SMA yang mendapatkan informasi tentang kedatangan
saya ke Pulau itu. Lama juga kami berbincang-bincang. Lewat pukul 10 malam
mereka pulang. Dan saya keluar mencari makanan. Tidak ada alternatif pusat
jajanan tempat kami berbincang sore
harinya yang jadi pilihan. Rupanya ada karoke juga.
Paginya
setelah shalat shubuh saya jalan-jalan dekat lapangan bola, ada kantor camat,
gedung yang saya kira SMA rupanya puskesmas. Hari itu Minggu rupanya hari
pasar. Saya masuk ke pasar traditionalnya. Cukup ramai berbagai hasil bumi
dijual. Setelah sarapan di sebuah kedai di pinggir pasar saya pulang ke
penginapan dan mandi pakai air mineral botol yang di beli.
Pukul
8.30saya sudah dalam kapal menuju Pangkalan Kerinci Pelalawan. Penumpang yang
ada di Speed hanya sekitar 5 orang. Seorang penumpang bilang bahwa orang masih
trauma dengan jalur sungai Kampar karena kecelakaan beberapa minggu sebelumnya yang
menelan korban 7 orang meninggal. Yang dilewati kapala kuala, namun nampaknya
seperti laut lepas. Speedberhenti di beberapa tempat menaikkan penumpang. Pada
perhentian ke 3 kapal yang tadi sepi jadi penuh. Awak kapal melarang penumpang
naik ke atas atap. Alasannya karena ombak nanti bisa membuat penumpang
terlempar ke laut.
Saya
berharap dapat melihat Bono yang ditakuti itu. Namun sampai ke Teluk Meranti
Bono yang saya harapkan tidak ada gejalanya. Di Teluk Meranti ini sebenarnya
sudah sungai Kampar tidak laut lagi, namun luasnya seperti laut saja. Pada
suatu bangunan bertiang tinggi di pinggir sungai Speed menepi. Rupanya rumah
makan, penumpang diberi kesempatan makan siang.
Lepas
dari Teluk meranti ini saya pun ikut naik ke atas atap kapal. Dari sana
pemandangan lebih bebas. Kita dapat menikmati pemandangan di kiri kanan sungai Kampar
yang deras dan luas. Mendekati pukul 4 sore Jembatan di Pangkalan Kerinci sudah
Nampak dan kapal merapat ke rumah makan di sekat Jembatan itu.
Berakhirlah
Backpaker traveling saya ke Kuala Kampar daerah terluar Propinsi Riau. Saya ke
Pekanbaru dengan Angkot Superband yang ongkosnya hanya 35 Ribu. Sungguh
perjalanan Backpaker yang mengasikkan.
Bahan
dilengkapi dari http://www.kompasiana.com/imranrusli/kabar-dari-kuala-kampar-pelalawan-riau-1-pedihnya-nasib-sungai-upih_54ff0fb0a33311064250f85d
Komentar